Sabtu, 27 November 2010

Integritas

Integritas : Realita atau Ilusi?


Integritas :  Realita atau Ilusi?

Kejadian 39 : 1-23



oleh : Saumiman Saud *)



                Kehidupan kita disebut berhasil, bukan seberapa panjang umur, cantik atau tampan, bukan juga karena banyak gelar dan kaya, namun yang penting kualitasnya. Tuhan Yesus tidak berumur panjang di dunia, namun kualitas hidu-Nya sangat tinggi,Ia menjadi contoh hingga hari ini.  Lalu yang menjadi pertanyaannya, bagaimana kita mencapai keberhasilan itu?

 Bagi orang percaya kita memerlukan hidup yang berintegritas untuk mencapi hal itu, sebab keberhasilan kita bukan yang kelihatan di luar saja, namun termasuk juga seluruh aspek kehidupan kita.  Anda boleh berhasil menjadi orang kaya-raya, namun itu terjadi karena korupsi. Anda boleh lulus cum-laude, tetapi caranya curang, sogok, KKN dan sebagainya. Kehidupan model begini bukan cirri khas orang Kristen.

Apa itu integritas? Integritas dapat dimengerti sebagai “wholeness, completeness, entirety, unified”. Yang dimaksud dengan keutuhan di sini adalah keutuhan di dalam seluruh aspek hidup, secara khusus antara perkataan dan sekaligus perbuatan.  Integritas termasuk - tetapi lebih dari kejujuran. Kejujuran dapat kita artikan dengan mengatakan kebenaran, namun kejujuran itu terjadi setelah segala kesalahan diperbuat. Setelah seseorang berbuat salah, lalu ia mengaku dengan jujur maka seriong kali kitakan dia itu jujur, namun integritas lebih dari itu, ia harus bersih dari semua ini.
 Salah satu cara yang paling penting untuk memanifestasikan integritas adalah tetap melakukan kebenaran, walaupun tidak satupun orang yang melihat dan mengetahuinya. 
Ada
banyak hal yang menggoda kita menjadi hidup yang tidak berintegritas? Contoh-contoh praktis di dalam kehidupan kita adalah; ketika ujian di kampus, tanpa pengawas? Ketika berhadapan dengan lampu merah? Manusia cenderung lebih takut polisinya ketimbang peraturannya. Tatkala kita sedang sendiri berada di depan Internet?  Konteks teman-teman yang sedang sekolah maupun yang bekerja di luar
kota
atau luar negeri, ketika tidak ada satupun orang yang mengenal anda? Apakah kehidupan anda tetap berintegritas? 

Hidup yang berintegritas adalah hidup yang konsisten di dalam mempertahankan kebenaran. Ia juga tidak pilih kasih dan berlaku tidak adil, walaupun tatkala ia mempertahankan integritas kemungkinan besar mendapat celaan orang dan kerugian.  Senjaya di dalam bukunya Konsep Karakter Kompetensi Kepemimpinan Kristen  mengatakan di dalam bahasa Information Tehnology (IT), konsistensi disebut sebagai prinsip WHSIWYG (what you see is what you get). Orang percaya seharusnya memiliki hidup seperti itu, baik, jujur, cinta Tuhan, melayani, mengasihi sesama dengan konsisten, sukarela, tanpa paksaan dan bukan kepura-puraan, transparan.Seseorang yang memiliki integritas hidupnya  tidak ada yang tersembunyi dan ditakuti. Ia ibarat
surat
terbuka, yang tidak ada rahasianya. Warren Wiersbe di dalam bukunya Integrity Crisis menulis bahwa orang yang tidak berintegritas adalah orang yang sedang mengalami dekadensi moral dan spiritual. Kegelapan meliputi dirinya, namun celakanya ia sendiri tidak mengetahuinya. Sebab ia merasa kegelapan di dalam dirinya adalah terang.
Tanpa kita sadari kita selalu terpengaruh hidup di dalam dunia kepura-puraan, mengapa demikian? Di tempat kerja ada orang yang pura-pura giat, karena banyak saingan, takut dipecat. DI gereja orang pura-pura melayani, pura-pura care pada orang lain, pura-pura cinta Tuhan, pura-pura rohani, karena terlanjur menjadi orang Kristen.
Bagaimana dengan anda? Mari kita lihat teladan Yusuf yang diogoda isteri Potifar setiap hari siang dan malam, ia lari dari keuntungan dan kesenangan secara manusia, integritasnya dapt dipertahankan. Demikian juga Daniel dan kawan-kawan, mereka adalah sebahagian contoh oprang-orang berintegritas di dalam Alkitab. Mereka manusia biasa seperti kita, mestinya kita juga sanggup berbuat demikian.-

*) Penulis adalah alumni Seminari Alkitab Asia Tenggara, (SAAT)
Malang
, pendeta yang melayani di Gereja Injili
Indonesia

Jumat, 26 November 2010

Gelar Fiktif antara Gengsi dan Dekadensi

oleh: Pdt. Manati Immanuel Zega, S.Th.


Pagi yang cerah itu, saya baru selesai melayani kebaktian doa pagi di gereja. Tiba-tiba datanglah seseorang yang mengantarkan undangan wisuda, atas nama seseorang yang saya kenal baik. Pembawa undangan ini berpesan, bahwa saya sangat diharapkan hadir dalam acara wisuda pasca sarjana theologi rekan tersebut.  

Ketika membuka undangan, saya kaget. Bagaimana tidak. Pertama, tidak pernah tahu kapan dia kuliah. Kedua, setahu saya, tidak ada sekolah Theologi pada alamat tersebut.

Dengan penasaran, langsung bergegas menuju alamat dimaksud. Kurang lebih 45 menit, berkeliling kota Solo namun tidak menemukan Sekolah Tinggi Theologi penyelenggara pendidikan itu. Hampir saja saya putus asa dan ingin pulang. Namun, untuk terakhir kalinya saya memutuskan mencari kembali alamat tersebut dengan keluar masuk kampung.

Akhirnya, alamat yang dimaksud ketemu juga. Ternyata, hanya sebuah gereja di kampung yang anggotanya kurang lebih 100 orang. Sedih rasanya. Dengan seksama saya memperhatikan tempat itu dan ternyata bukanlah lembaga pendidikan theologi formal. Tetapi anehnya, di situ diselenggarakan pendidikan theologi dengan program pasca sarjana. Saya tidak tahu, apakah ada izin penyelenggaraan pendidikan theologi di tempat itu atau hanya semacam kursus. 

Yang menjadi pertanyaan saya adalah, bagaimanakah mutu pendidikan yang dihasilkan? Siapa dosennya? Matakuliah apa saja yang diajarkan. Bagaimana beban kredit yang harus ditempuh oleh seorang mahasiswa? Atau, yang dipentingkan hanya gelar saja dan bukan bobot akademisnya? Saya juga tidak tahu.

Di tempat lain, seorang hamba Tuhan dari Salatiga menceritakan bahwa rekannya yang baru saja menyelesaikan pendidikan S1 theologi tiga tahun yang lalu, sekarang  telah bergelar doktor (S3). Dari perguruan tinggi/universitas mana? Juga tidak jelas.  Tidak ada yang tahu, hanya Tuhan dan pelakunya. 

Peristiwa yang lain juga diceritakan oleh seorang rekan hamba Tuhan. Dia berkata, seorang hamba Tuhan yang tinggal di Semarang dan dikenalnya dengan baik, sekarang bergelar doktor. Doktornya diperoleh hanya dengan menulis belasan lembar disertasi, yang secara ilmiah belum tentu dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam pemikiran saya muncullah pertanyaan. Mengapa hamba Tuhan sekarang (tidak semua) berlomba mendapatkan gelar akademis secara "tidak halal"? Apakah ini merupakan gejala hamba Tuhan millenium III?

Gelar, Ilusi Sesat Keberhasilan
Memang harus diakui, sebagian orang berpendapat bahwa dia dapat berhasil melalui sederetan gelar sarjana yang dimilikinya. Masyarakat masih mengganggap pendidikan formal satu-satunya kunci meraih sukses. Karena itu, orang tua tidak segan-segan menjual tanah dan sawahnya demi keberhasilan anak-anaknya, dengan harapan setelah kuliah menjadi sukses. Karena itu, banyak orang berlomba-lomba meraih gelar, termasuk para hamba Tuhan. Yang penting dapat gelar, mutu pendidikan tidak dipersoalkan.

Ketika, saya praktek pelayanan di Jogja tahun 1992 yang lalu, saya dikagetkan dengan khotbah seorang “doktor theologi” yang tidak bisa membedakan “kateketika” dengan “homilitika.” Dalam sebuah kebaktian Minggu pagi, pengkhotbah dengan gelar “doctor” tersebut mengungkapkan istilah teologia yang salah. Dia berkata, “kita harus berkhotbah dengan aturan kateketika yang baik.” Berulangkali istilah “kateketika” diulangi, sehingga saya berpendapat bahwa pengkhotbah tersebut tidak salah ngomong.

Ternyata, dia tidak dapat membedakan “kateketika (Ilmu yang mempelajari bimbingan pelajaran Alkitab untuk jemaat baru yang dipersiapkan untuk dibaptis)” dengan “homilitika (ilmu berkhotbah)”. 

Dari kasus ini, saya menyimpulkan bahwa pengkhotbah dengan gelar "doktor teologia" tersebut pasti tidak pernah belajar teologia formal. Darimana doktornya? Saya juga tidak tahu.

Kondisi ini, mengingatkan saya pada pernyataan Pdt. Chris Marantika, Th.D., D.D. di hadapan para winisuda, 18 Juni 2001 yang lalu. Chris Marantika menegaskan, "jangan terjebak dengan lembaga pendidikan teologia warung soto dan warung bakso". Artinya, kapan saja dibutuhkan asal punya banyak uang, gelar theologi dapat dibeli. Hal senada pernah disampaikan Pdt. Pontas Pardede, Ph.D. pada Juli 1998. Pontas berkata, "jangan ramai-ramai membeli gelar sarjana, ketika Anda tidak mampu belajar di bangku pendidikan tinggi theologi".

Kedua mantan ketua Persekutuan Injili Indonesia dan pimpinan Sekolah Tinggi Theologi Injili ini, mengingatkan bahwa gelar pendidikan theologi adalah gelar akademis yang harus dapat dipertanggungjawabkan.

Saya adalah orang yang meyakini bahwa gelar sarjana dalam bidang theologi bukanlah satu-satunya kunci keberhasilan pelayanan. Meskipun pendidikan theologi sangat penting dan harus, apabila dilakukan pada lembaga pendidikan theologi yang sehat dan bertanggungjawab. Tetapi, sungguh memalukan apabila dilakukan dengan menghalalkan segala cara.

Thomas Alfa Edison, hanya menempuh pendidikan formal selama tiga bulan saja. Setelah itu drop out karena dianggap otak udang oleh gurunya. Namun, nama Edison, begitu terkenal bahkan diakui sebagai ilmuwan besar dengan 3000 penemuan. Darimana keberhasilannya? Apakah dari gelar? Ternyata tidak. Edison berkata bahwa keberhasilannya, 1% is inspiration (inspirasi/kemampuan bawaan) and 99 % is perspiration(keringat/kerja keras). Jelaslah bahwa gelar akademis bukanlah satu-satunya faktor pendukung keberhasilan seseorang, tetapi juga kerja keras. Termasuk dalam pelayanan para hamba Tuhan. 

Maxwell Malt mengatakan salah satu ciri keberhasilan seseorang adalah "sense of direction". Artinya, seseorang mampu mengatur diri sendiri meskipun tidak ada yang mengawasi. Hamba Tuhan yang tidak dapat mengatur dirinya dan keinginannya berarti tidak memiliki “sense of direction.” Apa saja dilakukan untuk mencapai keinginannya. Termasuk meloloskan semua cara demi gelar akademis yang diingini.

Hamba Tuhan yang sungguh-sungguh akan dihargai Tuhan,  bukan dari gelarnya melainkan kesetiaannya melayani, didasari karena mencintai Tuhan semata-mata.


Gelar Dibeli, Bukti Dekadensi Moral
Berlomba-lomba membeli gelar, menurut saya inilah bukti bahwa hamba Tuhan telah turut melecehkan pendidikan Nasional di tanah air. Juga, mereka telah kehilangan rasa percaya diri untuk bersaing, sehingga segala cara ditempuh agar dihargai dan dihormati jemaat.  Tetapi, di sisi lain mereka telah terlibat dalam dekadensi moral. Mengapa? 

Karena sudah tidak mengindahkan suara hati nuraninya. Saya yakin, ketika seseorang membeli gelar sesungguhnya hati nuraninya berbicara tetapi diabaikan. Mungkin di depan, mereka dihormati jemaat, tetapi di belakang mereka dicibir karena jemaat tahu ketidak jujuran hamba Tuhan dalam dunia akademis.

Bagaimana mungkin baru lulus S1, tiba-tiba sudah bertitel DR (Doktor) satu tahun kemudian. Itu 'kan imposible. Tetapi, juga inilah kenyataan. Hamba Tuhan yang selama ini dianggap sebagai figur moral ternyata tidak demikian.  Bahkan, mungkin pada masa yang akan datang gelar pendidikan theologi diremehkan dan direndahkan karena paling gampang memperolehnya. Asal ada uang sekian juta, dapat menentukan gelar yang dikehendaki. Berbahaya bukan?

Solusi yang Tepat
Lalu, bagaimana seharusnya sikap para hamba Tuhan? Menurut saya, lebih baik kita memperhatikan ungkapan dari seorang guru. Dia bukan Kristen, tetapi bagi saya pernyataannya benar. Khong Hu Chu berkata: "bagiku belajar adalah pekerjaan seumur hidup. Aku tidak akan berhenti melakukannya sebelum aku mati". Saya pikir pernyataan ini benar. Sebab belajar tidak hanya dilakukan di bangku kuliah. Tetapi, dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Bahkan, "universitas kehidupan" menyajikan banyak pelajaran, apabila dapat menangkapnya dengan sungguh-sungguh.

Peristiwa alamiah di sekitar kita merupakan sumber pelajaran yang amat berharga. Setiap saat kita dapat menyaksikan keperkasaan Tuhan, melalui karyaNya yang agung dan luar biasa. Belajar dengan sungguh-sungguh pasti ada hasilnya. 

Pdt. Dr. Stephen Tong, salah seorang hamba Tuhan yang saya kagumi. Banyak orang tidak senang dengan dia, karena pernyataannya yang kadang-kadang menyakitkan hati. Tetapi, saya adalah salah seorang yang mengaguminya. Mengapa? 
Karena semangat belajarnya yang sangat tinggi.
Dalam suatu acara National Reformed Conference yang diadakan di Wisma Kinasih tahun 1999. Saya sempat ngomong-ngomong dengan beliau. Dan, salah satu pernyataannya yang terus saya ingat adalah, “anak muda, teruslah berlajar. Saya saja sudah tua, di tengah kesibukan yang ada saya terus belajar.”

Stephen Tong, bukanlah lulusan luar negeri dari universitas terkenal. Pendidikan formalnya hanyalah D3 Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Tetapi, mutu ilmu dan pelayanannya tidak kalah dengan doktor dari Universitas kenamaan. Rahasianya apa? 

Ternyata, dia terus belajar. Tidak ada waktu yang dilewatkannya tanpa belajar dengan sungguh-sungguh. 

Bagaimana dengan  Anda? Sudah Anda belajar? Atau, hanya butuh gelar akademisnya?

Solo, 07 Mei 2002



Sumber:
http://www.glorianet.org/index.php/manati/922-gengs

Refleksi Kepemimpinan

Dedy Irawan - detikNews
Add caption
Jakarta - Betapa sering kita menyaksikan bahwa apa yang disebut dengan kepemimpinan itu ternyata tidaklah bergantung kepada posisi atau jabatan seseorang. Kepala keluarga yang kurang mampu membina anak-anaknya, guru kelas yang tak dipatuhi para siswanya, ketua partai yang imbauannya tak dihiraukan konstituen, pemuka agama yang khutbahnya dianggap angin lalu oleh umat, direktur perusahaan yang setiap hari hanya memarahi dan mengancam anak buah, hingga jenderal yang tak piawai saat memberikan arahan, merupakan berbagai gambaran mengenai fenomena yang jamak ini. Bahkan ada pula kepala negara yang sebelum masa jabatannya berakhir, didesak untuk mengundurkan diri oleh rakyatnya sendiri walau terpilih secara sah konstitusional.

Padahal, bukankah semestinya dengan menyandang posisi pimpinan maka seseorang akan lebih mudah dalam  memimpin orang lain? Bukankah dengan status yang disandangnya itu maka pengaruh yang diberikan kepada para pengikutnya akan menjadi lebih kuat? Hal ini ternyata tak selalu dapat berjalan demikian karena kepemimpinan itu sendiri tidaklah identik dengan sebuah posisi pimpinan, leadership is not a headship. Albert Einstein, Bunda Teresa, Konosuke Matsushita, Hasyim Asy'ari, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., dan banyak lagi tokoh pemimpin dunia lainnya di berbagai bidang, menjadi bukti yang nyata bahwa sesungguhnya pengaruh atas orang banyak dapat diperoleh walau tanpa jabatan penting kenegaraan sekalipun. Visi, integritas, keberanian, kepedulian, kebijaksanaan, semangat, komitmen, dan ketulusan, adalah kunci utama keberhasilan mereka di dalam memimpin, achievement of goals through voluntary followership.

Para tokoh pemimpin dunia tersebut tidaklah menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Mereka tidak menunggu kaya, populer, atau berkuasa dahulu baru kemudian mewujudkan perubahan. Mereka tidak bersembunyi di menara gading melainkan hadir di tengah masyarakat. Mereka rela berkorban. Mereka memiliki pendirian teguh dan standar etika yang tinggi. Mereka juga para komunikator yang ulung akan pemikirannya. Mereka tekun membangun kapasitas kepemimpinannya dengan menghadapi kesulitan demi kesulitan. Mereka mengambil tanggung jawab untuk berperan semaksimal mungkin semasa hidupnya. Dan dengan menjalani hal-hal antara lain demikianlah, maka secara alamiah para informal leaders akan dapat bertransformasi menjadi para world class leaders. Kepemimpinan yang telah mereka bangunpun menjadi lebih lengkap saat mereka pada akhirnya mengemban amanat sebagai pemimpin formal di masyarakat. Hal yang kemudian membuat kisah kepemimpinan mereka menjadi inspirasi sepanjang zaman. Meminjam istilah Paulo Coelho dalam karyanya The Alchemist, mereka telah menuliskan legenda pribadinya sebagai karya dan teladan yang amat bernilai bagi generasi sesudahnya.

Walaupun memang tak dapat dipungkiri bahwa kepemimpinan itu sendiri bersifat kontekstual, sehingga pemimpin yang dibutuhkan sebuah organisasi politik akan berbeda dengan organisasi pendidikan, keagamaan, bisnis, militer, kelompok tani, para artis, atau bahkan organisasi mafia, namun sifat dasar kepemimpinan tidaklah jauh berbeda satu dengan yang lainnya. Masyarakat manapun senantiasa membutuhkan sosok pemimpin dan panutan, terlebih lagi dalam menghadapi masa-masa sulit.

Kepemimpinan juga merupakan key success factor dari proses perubahan yang besar. Para pengikutpun akan dengan sukarela mendukung terjadinya suatu perubahan mengikuti kepemimpinan yang kuat. Hal mana yang keberhasilan pengembangannya dalam tinjauan para ahli di berbagai institusi terkemuka, antara lain Harvard University atau McKinsey Inc., tidaklah dibedakan oleh faktor jenis kelamin, IQ, status sosial ekonomi, agama, ataupun ras seseorang. Kepemimpinan yang kuat dapat dijalankan oleh semua orang baik mereka yang berkepribadian ekstrovert maupun introvert.

Kepemimpinan yang kuat pula akan dapat mengendalikan jalannya sistem. Walau tengah berada di dalam sistem yang sudah terbangun secara buruk sekalipun, seorang pemimpin yang kuat tidak akan dengan mudah untuk dapat terpengaruh. Begitupun sebaliknya, seberapapun bagusnya sebuah sistem dalam berbagai bentuk peraturan dan kebijakan yang berfungsi sebagai enabler di masyarakat, jika berada di tangan pemimpin yang tidak kuat, hanyalah merupakan kesia-siaan belaka. Betapa banyak produk UU yang dimiliki oleh suatu negara, namun tak kunjung terasa manfaatnya oleh rakyat bila tak dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh mereka yang berwenang.

Sedang di tingkat perusahaan seringkali pula kita dengar, bahwa perencanaan strategis yang sangat baik haruslah diikuti dengan eksekusi terhadap pelaksanaannya, yang tak lain adalah kepemimpinan. Bahkan tak jarang pula kita amati bahwa seiring pergantian kepemimpinan, para pengikut kadang kala merindukan sosok pemimpinnya yang terdahulu, karena pemimpin yang saat ini sedang menjabat kurang terasa kepemimpinannya, walaupun dalam hal ini tak ada perubahan aturan main sama sekali. Hal ini tak lain dikarenakan setiap orang memiliki ciri khas kepemimpinannya masing-masing yang memberi dampak dan jejak berbeda kepada para pengikutnya.

Kepemimpinan adalah driver dari sebuah proses perubahan. Kepemimpinanlah yang mampu mengubah zaman jahiliyah menjadi peradaban madaniyah dalam sejarah penyebaran agama. Kepemimpinanlah yang menjadi kunci bagi terciptanya perdamaian atau peperangan dunia. Kepemimpinanlah pula yang dapat menentukan masa depan negara serta organisasi manapun. Dan kepemimpinan pulalah yang mampu menyukseskan penyelamatan fenomenal 33 penambang Chile pertengahan Oktober lalu, baik dari para penambang itu sendiri maupun para tim penyelamat.

Pada hakikatnya, kita semua merupakan pemimpin di muka bumi ini. Sembari terutama saya mengingatkan diri saya sendiri, apapun profesi, job title, serta kesibukan kita sehari-hari saat ini, marilah kita jalankan kepemimpinan kita di semua tingkat kehidupan secara maksimal dan dengan sebaik-baiknya. Apalagi, jika secara struktural formal saat ini diri kita merupakan pimpinan yang menjadi tumpuan harapan bagi begitu banyak orang. Sungguh, tiada seorang pun yang tahu kapan 'saat' yang telah ditentukan itu akan tiba. Namun semoga, jikalau esok pun adalah waktunya, kita tak menyimpan sesal dan berserah dengan kelapangan jiwa. Kepemimpinan kita, hidup kita, adalah sebuah legenda.

*) Dedy Irawan, pemerhati manajemen, tinggal di Jakarta. Memiliki pengalaman profesional di Accor, Arbe, AstraZeneca, Recapital.

Kepemimpinan yg memberdayakan

Sepanjang sejarah Israel di Perjanjian Lama, dapatlah dikatakan bahwa pemerintahan Raja Daud adalah pemerintahan yang paling kuat. Israel mengalami puncak kejayaannya ketika berada di bawah kepemimpinannya. Sering kali kita dapati pernyataan "seperti Daud" atau "tidak seperti Daud" dalam catatan raja-raja sesudah Daud. Kunci utama kekuatan kepemimpinan Daud adalah sikap takut akan Tuhan yang dimilikinya, sehingga kepemimpinannya selalu menjadi acuan bagi raja-raja sesudahnya.
Sikap takut dan taat akan Tuhan sangatlah memengaruhi gaya kepemimpinan Daud, sehingga kepemimpinan Daud sangatlah berbeda dari pendahulunya, Raja Saul. Saul adalah seorang pemimpin yang ingin tampil sendiri, sedangkan Daud adalah seorang pemimpin yang menghargai orang lain dan membiarkan orang lain muncul dan berperan, tanpa pernah merasa takut tersaingi. Hal ini justru membuat kepemimpinan Daud semakin melebihi kepemimpinan Saul, karena Daud membiarkan orang-orang di sekelilingnya berperan dengan maksimal.
Kepemimpinan Saul
Ketika Saul memerintah, dia adalah pemimpin yang ingin menonjolkan dirinya sendiri. Dia merasa tidak aman ketika ada orang lain yang tampil melebihi dirinya dan dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ketika Daud tampil lebih cemerlang dan mendapatkan sambutan, dikatakan: "dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi  berbalas-balasan, katanya: 'Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.' Lalu bangkitlah amarah Saul dengan sangat; dan perkataan itu menyebalkan hatinya, sebab pikirnya: 'Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa, tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu; akhir-akhirnya jabatan raja itupun jatuh kepadanya.' Sejak hari itu maka Saul selalu mendengki Daud" (1 Samuel 18:7-9), dan setelah itu Saul berusaha membinasakan Daud, sekalipun Daud adalah menantunya sendiri.
Bagi Saul, tahtanya hanyalah diperuntukkan bagi keturunannya, bukan orang lain. Kata Saul kepada Yonatan, "Sebab sesungguhnya selama anak Isai itu hidup di muka bumi, engkau dan kerajaanmu tidak akan kokoh. Dan sekarang suruhlah orang memanggil dan membawa dia kepadaku, sebab ia harus mati" (1 Samuel 20:31). Segala sesuatu dilakukan dan diukur Saul untuk kepentingannya sendiri, hal inilah yang juga mengakibatkannya mengabaikan perintah Tuhan dan tidak menghargai tabut Allah, seperti yang pernah disinggung oleh Daud, "Dan baiklah kita memindahkan tabut Allah kita ke tempat kita, sebab pada zaman Saul kita tidak mengindahkannya." (1 Tawarikh 13:3)
Kepemimpinan Daud
Berbeda dengan Saul, Daud justru menghargai dan membiarkan orang-orang di sekelilingnya memiliki peranan yang cukup menonjol. Daud tidak pernah merasa terancam dengan hadirnya orang-orang berpotensi di bawah kepemimpinannya.
Sebagai pengganti Nabi Samuel, Nabi Natan muncul dan menegur Daud akan kejahatan yang telah dilakukannya, dan Daud tetap menghargai Nabi Natan tanpa pernah berusaha menangkapnya. Banyak juga bermunculan orang-orang yang cakap di medan pertempuran hingga mereka disebut sebagai pahlawan-pahlawan Daud (2 Samuel 23:8-39). Yoab sebagai panglima besarnya, memiliki keberanian untuk menegur Daud dan Daud pun mendengarkan masukannya (2 Samuel 19:1-8). Dan Daud adalah orang yang berani memberi kesempatan kepada orang lain (1 Tawarikh 12:17-22) sehingga semakin kuatlah pasukan Daud.
Memberdayakan Orang yang Dipimpin
Jika kita ingin memiliki kepemimpinan yang kuat, maka sudah seharusnya setiap pemimpin memberdayakan orang-orang yang dipimpinnya. Jangan pernah takut melihat potensi dan mengembangkan potensi orang-orang yang kita pimpin, sekalipun orang yang kita pimpin memiliki potensi yang lebih besar daripada yang kita miliki. Justru dengan mengembangkannya maka kita akan menghasilkan banyak pemimpin sehingga misi yang ada bisa segera terpenuhi.
Sudah seharusnya kebesaran seorang pemimpin diukur dari berapa banyak pemimpin yang dihasilkannya, bukan sekadar berapa banyak pengikutnya. Seperti Tuhan Yesus yang telah "menolak" 5.000 orang yang mengikuti-Nya dan lebih memprioritaskan waktu-Nya untuk memimpin 12 orang murid. Dengan memberdayakan ke-12 murid-Nya secara maksimal, maka lahirlah dua belas rasul yang menggoncangkan dunia.
Sebagai seorang pemimpin yang melayani, Tuhan memberikan karakteristik-Nya dalam melayani orang lain atau orang yang kita pimpin, yang tertuang di Lukas 22:27: "Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan." Dari ayat tersebut kita dapatkan beberapa prinsip bagaimana seseorang pemimpin yang melayani dapat memberdayakan orang yang dipimpin.
Yang pertama, kita haruslah menghargai orang yang kita pimpin. Dikatakan bahwa orang yang duduk makan "lebih besar" daripada yang melayani. Sering kali pemimpin tidak bisa memberdayakan karena dia merasa bahwa posisinya lebih tinggi sehingga lebih menuntut untuk dihargai daripada menghargai. Syarat pertama untuk pemimpin dapat memberdayakan orang di bawahnya adalah menghargainya: menghargai potensi orang yang dipimpin, menghargai bahwa dia adalah calon pemimpin masa depan, menghargai bahwa dia adalah orang yang dipercayakan Tuhan untuk kita pimpin untuk memaksimalkan potensinya.
Yang kedua, tentunya sikap melayani seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus sendiri. Untuk memberdayakan orang lain, maka kita harus berfokus untuk melayani orang tersebut. Kita melayaninya dengan cara mengenalnya setiap potensi yang dia miliki sebaik mungkin, kemudian berikan dia mimpi, dorongan, dan kesempatan untuk maju dan berkembang. Layani sampai dia mencapai potensinya yang maksimal, hingga dia mengalami kepuasan karena pelayanan yang kita berikan.
Selamat melayani dan memberdayakan orang-orang yang kita pimpin.
Published in e-Leadership, 10 February 2010, Volume 2010, No. 64

Pemimpin dalam Kepemimpinan Kristen

ytleadershipfoundation


Pengantar
Premis atau dalil dasar kepemimpinan Kristen adalah berlandaskan ajaran Alkitab. Secara khusus, peremis mengenai pemimpin dalam kepemimpinan meliputi tiga hal penting, yaitu antara lain: Satu, Panggilan Sebagai Pemimpin Kristen; Dua, Dasar Teologi Kepemimpinan Kristen; dan Tiga, Dasar Etika-Moral Kepemimpinan Kristen.
A. Panggilan Sebagai Pemimpin Kristen
Kepemimpinan Kristen didasarkan atas premis utama, yaitu bahwa Allah, oleh kehendak-Nya yang berdaulat, menetapkan serta memilih setiap pribadi dalam lingkup dan konteks pelayanan menjadi pemimpin Kristen. Pemimpin yang dipanggil oleh Allah ini adalah untuk pelayanan memimpin. Premis ini ditegaskan oleh Profesor Dr. J. Robert Clinton yang mengatakan,
“Pemimpin Kristen adalah seseorang yang telah dipanggil Allah sebagai PEMIMPIN yang ditandai oleh adanya:
1. Kapasitas memimpin dan
2. Tanggung jawab pemberian Allah
UNTUK
3. Memimpin suatu kelompok umat Allah (gereja)
4. Mencapai TUJUANNYA bagi, serta melalui kelompok ini” (Clinton 1989:2).
Dari penegasan Profesor Clinton di atas, dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin Kristen ada sebagai pemimpin karena ia dipanggil oleh Allah. Dengan demikian, ia harus memiliki kesadaran diri sebagai telah terpanggil Allah dan meneguhkan kualifikasi dirinya sebagai pemimpin. Sikap ini perlu dipertegas dengan memperhatikan bahwa seorang pemimpin Kristen adalah seorang individu yang telah ditebus Allah, yang olehnya ia harus yakin bahwa ia terpanggil Allah untuk memangku tanggung jawab kepemimpinan. Kebenaran ini pada sisi lain, menegaskan bahwa Allah telah mengaruniakan kepadanya kapasitas teguh untuk memimpin, sehingga ia dapat membuktikan diri sebagai pemimpin sejati (Lihat: Kejadian 12:1-3; Keluaran 2-7; dan 18, Roma 12:8, dsb.).
B. Dasar Teologis Filosofis Kepemimpinan Kristen
Dasar teologis-filosofis yang harus dipahami dan harus ada pada seorang pemimpinan Kristen ialah:
1. Pemimpin Kristen harus memahami dasar kepemimpinan Kristen bahwa ia terpanggil sebagai – “pelayan-hamba” (Makus 10:42-45). Sebagai pelayan, pemimpin terpanggil kepada tugas yang olehnya ia menjadi pemimpin. Sebagai hamba, ia terpanggil dengan status menghamba kepada TUHAN, yang harus diwujudkan dalam sikap, sifat, kata, dan perbuatan.
2. Pemimpin Kristen harus memiliki motif dasar kepemimpinan Kristen yaitu; Satu: “membina hubungan” dengan orang yang dipimpinnya dan orang lain pada umumnya (Markus 3:13-19; Matius 10:1-4; Lukas 6:12-16). Dalam kaitan ini, perlulah disadari bahwa kadar hubungan-hubunganlah yang menentukan keberhasilan seseorang sebagai pemimpin. Dua: “mengutamakan pengabdian” (Lukas 17:7-10). Mengutamakan pengabdian menekankan bahwa “kerja” adalah fokus, prioritas, sikap serta tekanan utama, sehingga ia akan mengabdikan diri untuk melakonkan tugas kepemimpinan dengan sungguh-sungguh.
3. Pemimpin Kristen harus memahami PROSES KEPEMIMPINAN serta ketrampilan memimpin, antara lain:
a. Ia harus mengetahui tujuan (tujuan Allah, tujuan organisasi, tujuan operasi kerja) dari institusi/organisasi yang dipimpinnya.
b. Ia perlu mengenal tanggung jawab serta tugas yang dipercayakan kepadanya.
c. Ia harus memahami dan mengenal fungsi pengelolaan kerja (manajemen) – (Lukas 14:28-30).
d. Ia harus berupaya mengenal setiap orang yang dipimpinnya untuk mempermudah penggalangan serta pembinaan hubungan antara pemimpin-bawahan, sebagai dasar untuk melaksanakan kinerja kepemimpinan yang berkualitas. Kondisi hubungan baik antara pemimpin dengan para bawahan sangat menentukan pelaksanaan kerja yang dapat dilakukan dengan baik pula.
e. Ia harus mengerti dengan baik bagaimana caranya mencipta hubungan, kondisi yang kondusif, serta pemenuhan kebutuhan dari bawahannya dalam upaya memperlancar uapaya dan kinerja kepemimpinan.
C. Dasar Etika-Moral Kepemimpinan Kristen
Kepemimpinan Kristen memiliki dasar etika-moral yang Alkitabiah. Dalam kepemimpinan Kristen, presuposisi dasar etika-moral dilandaskan atas fakta dan dinamika “inkarnasi” Yesus Kristus (Yohanes 1:1-14, 18; Filipi 2:1-11). Konsep inkarnasi dalam kepemimpinan Kristen yang dibangun di atas fakta “inkarnasi Yesus Kristus” yang memiliki kisi kebenaran berikut:
1. Dasar perilaku etika-moral kepemimpinan Kristen adalah pribadi Yesus Kristus, termasuk: kehidupan, karya, ajaran dan perilaku-Nya, di mana seluruh kerangka kepemimpinan Kristen dibangun di atas dasar ini (I Yohanes 2:6).
2. Orientasi dan pendekatan etika-moral kepemimpinan Kristen bersifat partisipatif yang berlaku dalam penerapan kepemimpinan Kristen pada segala bidang hidup (Lukas 4:18-19).
3. Dinamika etika-moral kepemimpinan Kristen terwujud oleh adanya transformasi hidup (individu/masyarakat) yang dibuktikan dengan pertobatan/pembaharuan/pemulihan hidup dan semangat kerja (individu/korporasi; banding: Roma 12:1-2, 8, 9-21).
4. Perwujudan dasar etik-moral kepemimpinan Kristen di atas haruslah dinyatakan dalam sikap hati, kata dan perbuatan serta bakti setiap pemimpin Kristen secara nyata dalam bidang hidup berikut:
a. Pemimpin Kristen harus membuktikan diri sebagai pemimpin bertanggung jawab (Ibrani 13:17).
b. Pemimpin Kristen harus menemukan diri sebagai pemimpin yang bertumbuh (Kolose 2:6-7; 3:5-17).
c. Pemimpin Kristen harus menjadi pemimpin model dalam keteladanan hidup dan kinerja (Ibrani 13:7-8).
d. Pemimpin Kristen harus memiliki: motivasi dasar Pelayan-Hamba (Markus 10:42-45), yang senantiasa menyadari akan status dan perannya sebagai pemimpin.
Motivasi dasar seseorang pemimpin seperti ini akan sangat menentukan sikap, perilaku, kata ddan tindakan dari orang tersebut, baik terhadap diri, orang lain maupun pekerjaan. Karena itu, seorang pemimpin Kristen perlu memastikan apakah ia memiliki dasar etika-moral, orientasi dan motivasi yang sesuai dengan Firman Allah.
RANGKUMAN
Peerlu dipertegas, bahwa pada dasarnya kepemimpinan Kristen memiliki faktor-faktor dan matra-matra dasar kepemimpinan yang sama dengan kepemimpinan umum lainnya. Pada sisi lain kenyataan yang membedakan antara Kepemimpinan Kristen dan kepemimpinan lainnya ialah hakikat, dinamika, serta falsafah yang didasarkan pada Alkitab. Sebagai contoh, premis utama kepemimpinan Kristen ialah bahwa Allah yang berdaulat oleh kehendak-Nya yang kekal, telah menetapkan serta memilih setiap pemimpin Kristen kepada pelayanan memimpin. J. Robert Clinton mengatakan, “Allah memilih bagi dirinya seorang pemimpin, dan Allah mengembangkan pemimpin tersebut sepanjang kehidupannya.” Itulah sebabnya tatkala mendefinisikan tentang siapa pemimpin Kristen itu, Clinton menjelaskan:
“Pemimpin Kristen adalah seseorang yang telah dipanggil Allah sebagai PEMIMPIN yang ditandai oleh:
1. Kapasitas memimpin dan
2. Tanggung jawab pemberian Allah
UNTUK
3. Memimpin suatu kelompok umat Allah (Gereja)
4. Mencapai TUJUANNYA (bagi serta) melalui kelompok ini”
Premis utama ini menyinggung hakikat kepemimpinan Kristen – bahwa Allah adalah segala-galanya bagi kepemimpinan Kristen, dimana Ia-lah yang mengawali, menopang, dan menghasilkan dalam seluruh proses kepemimpinan. Hal ini senada dengan pernyataan David Hocking yang mengatakan, “Tanpa bantuan Allah, tidak seorang pun di antara kita dapat mengharap menjadi apa yang Allah gambarkan sebagai seorang pemimpin rohani.” Melihat premis di atas, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan Kristen adalah “God Centered Leadership” dengan pemimpin sebagai God centered leader – di mana Allah adalah segala-galanya bagi pemimpin dan kepemimpinan itu.
Indikator penting bahwa seseorang dipanggil Allah kepada tugas kepemimpinan ialah bahwa ia memiliki kapasitas lengkap sebagai pemimpin, dan ada tanggungjawab yang diuntukkan baginya guna menjalankan upaya memimpin. Pada pihak lain kepemimpinan Kristen meletakkan kedudukan pemimpin Kristen secara proposional, di mana “pemimpin Kristen adalah pemimpin yang berkarakter tinggi, berpengetahuan komprehensif dan khas lebih, serta berkecakapan sosial dan teknis yang andal. Pemimpin Kristen seperti ini akan terbukti sebagai pemimpin dengan ciri-ciri “efektivitas tinggi, efisiensi tinggi, dan hubungan sehat yang tinggi” – sehingga dapat mewujudkan kinerja optimal dengan produk unggul dalam kepemimpinan yang diembannya. Ciri-ciri di atas akan selalu terlihat dengan adanya kisi-kisi berikut:
1. Pemimpin mengabdi dengan komitmen yang tinggi kepada Allah, kepada organisasi (gereja) dan kepada tugas (misi Allah).
2. Pemimpin memiliki dan mempertahankan nilai efektivitas tinggi yang ditandai oleh sifat dan sikap pemimpin dengan gaya kepemimpinan berikut:
a. Ia adalah pemimpin teladan-bertanggung jawab.
b. Ia adalah pemimpin inspirator-komunikator.
c. Ia adalah pemimpin pemersatu-dengan kerja sama yang tinggi.
d. Ia adalah pemimpin pekerja-motivator ulung.
e. Ia adalah pemimpin berwibawa-otokrator bijak.
f. Ia adalah pemimpin strategos-terfokus yang selalu tepat arah dan pencapaian.
g. Ia adalah pemimpin peduli-terpadu yang memiliki kepedulian tinggi atas kesejahteraan semua pihak dalam kepemimpinannya.
Ciri khas pemimpin Kristen seperti inilah yang menempatkan kepemimpinan Kristen sebagai unik, dengan hakikat, dinamika, serta falsafah penuntunnya yang khas. Hal mana akan mewarnai “leader behavior, leadership style, dan leadership performance” – yang membawa “summum bonum” (kebaikan tertinggi) bagi diri (sebagai pemimpin), bawahan (orang yang dipimpin), organisasi dan masyarakat (lingkungan) di mana kepemimpinannya diaktualisasikan secara optimal. Selamat.

Karakter luhur Seorang Pemimpini

PENGANTAR
Firman Allah menegaskan bahwa “….. orang yang berbudi luhur merancang hal-hal yang luhur, dan ia selalu bertindak demikian” (Yesaya 32:8). Kebenaran yang dituangkan dalam nubuatan Yesaya ini berbicara tentang pribadi yang berbudi luhur, yang berpikir luhur, bersikap luhur dan bertindak luhur secara konsisten. Hal ini menerangkan tentang seseorang pribadi yang luhur yang akan selalu menyatakan keluhurannya sebagai karakteristik dirinya. Dalam kaitan ini dapat dilihat bahwa seorang individu sesungguhnya memiliki kepribadian utuh yang ditandakan dengan karakter 1yang menjelaskan tentang karakteristik kepripadian individu dimaksud. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepribadian diekspresikan melalui karakter dan karakter yang dibangun di atas sejumlah faktor menunjukkan kadar nilai dari kepribadian. Jadi apabila pemimpin memiliki karakter yang disebut “berbudi luhur” maka pada tahap pertama, ia telah membangun kepribadiannya di atas nilai yang luhur, dan dari nilai luhur ini, ia mengekspresikan karakternya yang berkarakteristik “berbudi luhur” dimaksud. Dalam upaya menejelaskan hubungan yang integral antara pemimpin dan karakternya, maka tulisan ini akan membahas beberapa pokok penting, yaitu antara lain., Satu, Seluk beluk karakter individu; Kedua, Mengembangkan karakter yang luhur; yang diakhiri dengan suatu rangkuman.
SELUK BELUK KARAKTER INDIVIDU
Telah disinggung sebelumnya, bahwa karakter sangat erat hubungannya dengan kepribadian setiap individu. Substansi kepribadian setiap orang memiliki ego (diri, hakikat diri), yang dibangun di attas temperamen yang merupakan bawaan lahir. Ego memiliki (dimiliki) tubuh, jiwa, roh yang menjadikan manusia sebagai manusia (yang hidup, yang bukan binatang), dengan kesatuan psiko-somatik (jiwa/roh-tubuh) utuh tidak terpisahkan. Ego yang dimotori oleh temperamen mempengaruhi pikiran (intelek/ kognisi), perasaan (emosi) dan kehendak (volisi) yang beroperasi secara mekanis dan integral. Di sini jelas terlihat bahwa secara substatif, manusia disebut manusia karena ia memiliki ego yang ada menyatu pada tubuh/jiwa/roh, yang olehnya manusia adalah seorang pribadi dengan kepribadian utuh. Ego diwarnai oleh temperamen yang merupakan bawaan lahir, yang memberi pengaruh dasar awal terhadap pikiran, perasaan dan kehendak setiap individu.  Kenyataan manusia seperi inilah yang menjadikannya manusia pribadi, dengan kepribadian sepesifik. Selanjutnya, perlu disadari bahwa “Kepribadian seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor genetika/ temperamen/ bawaan lahir, lingkungan, dan pengalaman hidup individu.”2 Di sini terlihat bahwa ada faktor kepribadian dan pengaruh kepribadian yang tidak dapat diubah atau dipengaruhi, karena merupakan destini dari setiap orang. Faktor-faktor dimaksud secara dominan mempengaruhi kepribadian, tanpa dapat diubah, karena sifatnya yang tetap, namun hanya dapat disikapi.3
Menghubungkan kepribadian dengan karakter, perlu diawali dengan menegaskan bahwa ego (ke-AKU-an) yang membentuk seseorang sebagai manusia pribadi adalah bagian dari genetika dan bawaan lahir setiap orang yang menjadikan kepribadian dengan temperamen yang permanen dan tidak berubah. Tatkala seorang individu mengekspresikan dirinya, maka ia sedang menyatakan karakteristik kepribadiannya yang dari padanya dapat terlihat karakter khusus yang dimilikinya. Dari sisi ini terlihat faktor pengaruh terhadap kepribadian setiap individu yang dialami, diperoleh dan dijalani dalam lingkungan kehidupan di mana setiap orang berada dan dibesarkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kepribadian yang permanen itu ditandakan dengan karakter khas yang dipengaruhi sejumlah faktor, yang menyebabkan karakter memiliki sifat “dapat berubah.”4 Dengan adanya sifat ini pada karakter, maka karakter setiap orang dapat dikembangkan menjadi lebih baik dari apa yang ada padanya, karena karakter adalah ekspresi dari kepribadian.5
MENGEMBANGKAN KARAKTER YANG LUHUR
Telah diungkapkan bahwa karakter memiliki sifat khas “dapat berubah”  yang olehnya karakter dapat dikembangkan menjadi positif atau dibiarkan untuk dipengaruhi sehingga menjadi negatif.6 Dengan demikian, dalam upaya mengembangkan “karakter menjadi luhur” maka ada dua aspek yang akan disinggung, antara lain., Satu, Menata perkembangan format diri; dan; Kedua, Pencitraan diri yang positif.
Menata perkembangan format diri
Dalam upaya mengembangkan karakter luhur, setiap individu dan pemimpin Kristen perlu manyadari dengan dalam bahwa menurut Alkitab, “semua orang (manusia) telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah” (Roma 3:23). Kebenaran ini menegaskan bahwa secara natur, manusia adalah berdosa, dan tidak memiliki kekuatan untuk mengembangkan diri menjadi luhur dalam arti yang sebenarnya. Ini tidak berarti bahwa secara umum, manusia tidak dapat “berpikir positif yang alami,” karena pada dasarnya, manusia memiliki kebaikan umum, yang olehnya secara sosial manusia sejahat apapun dia, pasti akan bersikap baik terhadap isteri, suami, atau anak-nya. Namun, kebaikan seperti ini bernilai positif tidak penuh, karena dosa, sehingga manusia sebaik apapun dia, ia akan membenci musuhnya (ia tentu memiliki musuh) dan dimusuhi orang lain.7Hal ini berarti secara umum, manusia dapat saja berbicara tentang berpikir positif, tetapi dalam sifat yang tidak murni, karena dosa yang ada padanya (Roma 6:23). Pada sisi lain, bagi orang Kristen, tatkala ia di dalam Kristus, sesungguhnya ia telah menjadi “manusia baru” (II Korintus 5:17), dimana manusia lama (natur keberdosaan) telah diselesaikan TUHAN (I Korintus 15:1-5), sehingga ia telah mengalami pembaruan hidup (Kolose 3:5-11), menjadi “manusia baru” (ciptaan baru) dalam Kristus (II Korintus 5:17). Dalam kaitan ini, tatkala orang Kristen hidup sesuai dengan panggilannya dengan cara hidup “rendah hati, lemah lembut, sabar, mengasihi, memelihara kesatuan dalam ikatan damai sejahtera” (Efesus 4:1-3) dan hidup dalam kasih serta menjauhkan diri dari perbuatan kegelapan dan hidup sebagai anak-anak terang dengan arif sesuai kehendak Allah (Efesus 5:1-18), dan memiliki belas kasihan dengan  sifat serta kata-kata yang membangun (Kolose 3:12-17), kemudian “membangun pikirannya di atas “apa yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, dengan kebajikan dan tindakan yang patut dipuji” (Efesus 4:8), maka ia telah “bersikap, berpikir, dan bertindak positif” dalam arti yang sejati. Dengan berlandaskan kebenaran ini, orang Kristen dapat mengembangkan diri kearah kedewasaan penuh (Efesus 4:13-16) yang menandakan bahwa ia sedang berada dalam suatu proses perkembangan diri yang formatif.8
Sebagai seorang individu pemimpin, perkembangan seperti yang dijelaskan di depan ini harus diupayakan sedemikian rupa, sehingga terfokus kepada sasaran: “mejadi kompeten” denganintegritas-kredibilitas karakter tinggi (Formasi Rohani); kapasitaspengetahuan yang komprehensif dan khas lebih (Formasi Pelayanan) dan kapabilitas sosial (kemampuan mengembangkan hubungan positif yang luas) dan teknis (kecakapan memimpin dengan memanejemeni secara andal), yang berkembang secara ajeg kearah kovergensi menjadi pemimpin tangguh.9 Seorang individu pemimpin yang berkembang secara formatif seperti ini menjelaskan bahwa ia sedang membangun karakternya yang dilandasi nilai etika – moral agung (Roma 12:1-2; Mazmur 1; Yeremia 9:23-24; 17:7-8; Yesaya 32:1-3,8, Daniel 12:3), yang memberikan kepadanya landasan kuat untuk berbudi luhur. Perkembangan formatif ini ditandai oleh kemampuan untuk mengendalikan diri dengan menjaga hati (Amsal 4:23), yang olehnya dari dalam dirinya mengalir air hidup (Yohanes 7:38), sehingga orang lain yang ada di sekitarnya diberkati TUHAN. Oleh pertolongan Roh Kudus, ia sedang ada dalam “kemampuan tinggi” yang dinyatakan dengan “keagungan hidup berlandaskan kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri” (Galatia 5:22-23’ I Korintus 13; Yohanes 13:34-35). Cara hidup (lifeway) seperti ini menjelaskan bahwa orang Kristen/ pemimpin Kristen sedang hidup seperi Kristus TUHAN-nya (I Yohanes 2:6), ia sedang membuktikan diri memiliki keluhuran budi (Yesaya 32:8) yang ditanda-buktikan dengan memimpin banyak orang kepada kebenaran dan damai sejahtera (Daniel 12:3; Yesaya 32:17; Yohanes 14:27). Dalam kaitan dengan pengembangan diri menjadi pemimpin kompeten dengan keluhuran budi seperti ini, setiap individu Kristen/ Pemimpin Kristen harus dengan penuh kesadaran dan secara terencana membangun suatu strategi “pengembangan diri” diawali dengan sikap siap menjadi pembelajar sepanjang hidup yang terus menerus mengembangkan diri melalui belajar secara introspektif (mengkaji pengaman hidup secara internal), retrospektif (mengkaji nilai pengalaman masa lalu bagi kehidupan sekarang)  dan belajar secara vikariat (vicarious learning, yaitu belajar dengan menggunakan pemimpin Alkitab, pemimpn historis yang telah berlalu dari sejarah, dan pemimpin kontempoter) sebagai model pembelajaran. Dengan menata perkembangan diri seperti ini, pemimpin sedang dan akan terus berkembang ke arah kepenuhan diri menjadi kompeten, yang ditandai oleh kenyataan bahwa ia terus menghidupi dirinya dengan karakter agung10 dimana ia menjadi berkat kepada lebih banyak orang dari berbagai kalangan. Pemenuhan format diri harus didukung oleh kesadaran bahwa sang pemimpin sedang menghidupi karakter dan menjalankan kepemimpinannya dengan cara hidup bijak.  Pada sisi lain kesadaran ini harus ditopang oleh penemuan diri (secara subyektif) bahwa sang pemimpin sedang berkembang dan adanya pengakuan dari oranglain (konfirmasi) bahwa pemimpin sedang menjadi berkat bagi banyak orang. Sang pemimpin dalam kaitan ini tidak dapat bertepuk sebelah tangan (membuat klaim secara sepihak) dengan mengatakan bahwa “saya adalah kompeten dan sedang berkembang,” karena kompetensi dan perkembangan diri seorang pemimpin harus dibuktikan dengan adanya pengakuan dari orang lain secara positif bahwa ia sedang berkembang dengan adanya bukti bahwa ia menjadi berkat kepada lebih banyak orang. Pengakuan seperi ini harus disambut oleh pemimpin dengan mawas diri dan berendah hati, agar ia tidak terjebak kepada keangkuhan dan menjadi takabur.
Pencitraan diri yang positif
Kesadaran diri pemimpin secara subyektif bahwa ia sedang berkembang hanya dapat dipastikan melalui pencitraan dirinya. Pencitraan diri positif yang sejati dibangun di atas kompetensi diri yang kuat, antara lain,karakter yang teguh, pengetahuan yang komprehensif dan khas lebih serta kecakapan sosial-teknis yang andal. Pencitraan diri dalam kaitan ini adalah suatu sikap sadar bertanggungjawab seorang individu dalam mengekspresikan dirinya yang ditandai oleh pikiran, sikap, kata serta tindakan yang positif yang mewarnai lingkungan pribadi serta kinerja dengan membangun orang lain yang ada di sekirarnya dan membawa keuntungan bagi kepemimpinannya. Pencitraan diri diwali dengan adanya integritas karakter Kristen yang kuat, yang olehnya pemimpin yang membuktikan diri dengan etika moral luhur, akan diakui sebagai kredibel. Pencitraan diri dari sisi karakter ini di awali dari membangun self esteem (sikap penghargaan obyektif terhadap diri) yang mengakui bahwa dirinya berharga di mata TUHAN yang telah memilih dan menetapkannya menjadi seorang pribadi dan seorang pemimpin (Yeremia 1:5). Sikap seperti ini meneguhkan diri dengan kepercayaan yang teguh, yang melahirkan self confidence (rasa percaya diri) yang kuat sebagai pemimpin yang telah dipanggil TUHAN. Self esteem pada sisi lain akan meneguhkan self dignity (kewibawaan diri), sehingga pemimpin dapat berdiri tegak menghadapi kepemimpinannya yang ditandai oleh berbagai gelombang tantangan. Dengan sikap dasar seperti ini, pemimpin dengan sendirinya ditopang untuk berpikir, bersikap, berkata dan bertindak positif terhadap tugasnya (terstruktur objektif) orang lain (konsiderat-altruistik) dan segala sesuatu yang dihadapi (pragmatis-optmistik). Berdasarkan sikap seperti yang telah disinggung di atas, pemimpin akan diteguhkan dengan jiwa positif (hidup benar, baik hati, tulus, jujur, adil, setia, arif) yang olehnya ia memiliki mentalitas positif (keteguhan, ketekunan, kesetiaan, kerajinan, keuletan) yang memberikan kepadanyagaya proaktif (asertif, inovatif, antisipatif, partisipatif, adaptif) dalam menyikapi dan menindaki segala sesuatu. Pencitraan diri dari sisi pengetahuan akan terlihat pada kapasitas diri sebagai narasumber dengan kemampuan intelektual cemerlang. Pada sisi ini, pemimpin telah membangun dirinya dengan perangkat falsafah kehidupan yang lengkap, serta pengetahuan know how yang membuatnya cerdas dengan kemampuan menanggapi segala sesuatu secara cemerlang. Pecitraan diri dari segi kecakapan akan terlihat pada kapabilitas kinerja dari sisi sosial, dimana pemimpin piawai dalam mengelola dan membangun hubungan-hubungan dengan jejaringan yang luas pada segala aras., dan  mampu memanejemeni tanggungungjawab kepemimpinan secara efektif, efisien, dan sehat yang produktif optimal.
Pada tataran lain, pencitraan diri secara praksis hanya akan bernilai positif apabila pemimpin secara bertanggungjawab menghidupi diri serta kepemimpinannya sebegitu rupa sehingga ia menandakan adanya kualitas karakter lebih. Karakter lebih ini pertama-tama ditandakan dengan adanya  keagungan budi. Keagungan budi yang sejati dibangun di atas kebenaran, kebaikan, keadilan, ketulusan, kesetiaan, ketekunan dan ketahanan, yang menunjukkan adanya integritas dan kredibilitas karakter. Kedua, karakter lebih ini ditunjang oleh adanya komitmen tinggi kepada disiplin serta penguasan diri, kebijaksanaan dan kearifan dalam membangun sikap terhadap orang lain, serta adanya kesetiaan, keuletan dan ketekunan kerja berkualitas (efektif-efisien-sehat-optimal) yang membawa keuntungan bagi diri, orang yang dipimpin, dan organisasi serta masyarakat di mana kepemimpinannya dijalankan.  Ketiga, karakter lebih ini ditandai dengan adanya kearifan dalam melaksanakan upaya memimpin, dengan sikap terbuka, konsiderat serta lugas terhadap orang yang dipimpin dan pekerjaan yang dijalankan. Keempat, karakter lebih pada sisi lain, nampak pada pencitraan diri yang baik dan benar yang diekspresikan melalui pikiran, sikap, kata dan tindakan yang mengangkat dan meneguhkan, sehingga dengan sendirinya akan berimbas kepada adanya pengakuan akan kualitas diri lebih yang ada pada pemimpin. Pengakuan ini merupakan imbasan berupa penghargaan obyektif tulus atas diri pemimpin sebagai refleksi orang lain atas pencitraannya. Dari sisi inilah akan terbukti sejauh mana pemimpin memiliki karakter yang luhur yang ditandai dengan adanya pengakuan dan penghargaan yang diberikan kepadanya.
RANGKUMAN
Pemimpin Kristen yang memiliki karakter luhur hanya ada karena anugerah Allah yang telah menyelamatkannya, dan menjadikannya sebagai manusia baru (II Korintus 5;17; Yesaya 32:1-2,8,17; Daniel 12:3). Manusia baru yang adalah ciptaan Allah memberikan kepada pemimpin vitalitas yang meneguhkannya untuk membangun diri ke arah kedesawaan sesuai dengan rencana Allah. Secara khusus, keluhuran karakter pemimpin dibangun diatas keluhuran budi, dengan komitmen kuat untuk taat dan setia kepada TUHAN. Dari tataran praktis, keluhuran diri pemimpin akan tampak pada karakternya yang berintegritas tinggi(benar, baik, suci, adil, jujur, tulus, setia, tabah, tekun, tangguh, indah, mulia – Lihat Filipi 4:5,8), kapasitas pengetahuannya yang komprehensif(luas) dan khas lebih (pilihan unggulan); yang menempatkannya pada tataran atas dan lini depan dalam percaturan intelektualitas; sertakapabilitas sosial dan teknis yang andal yang meneguhkan basis sosial berjejaring luas serta keandalan memanejemeni secara strategis taktis tinggi, yang membawanya unggul dalam pencapaian. Semua ini akan terwujud melalui pencitraan diri yang berimbas kepada pengakuan positif dari banyak orang tentang keandalan pemimpin, yang terbukti memilikikarakter yang luhur. Selamat menghidupi diri dengan karakter luhur.